This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sabtu, 30 Juni 2012

Identitas pelayan vol 3

    Alunan musik dari band ternama ibukota mengalun ceria. Para anak2 muda itu berjingkrak2 mengikuti lantunan musik.
    Obrolan sesama pegawai berkumandang di tengah2 pesta. Para pelayan terlihat hilir mudik mempersiapkan kemeriahan pesta.
Tetap di sudut taman itu. Rian memang tak begitu mengerti tentang undangan khusus tersebut. Di pesta itu Rian sedikit merasa heran aja dengan seorang pemuda yg di kenalnya bernama Otpic itu. "Apa dia juga dapat undangan khusus?"
  "Rian! Kenapa bengong," tanya Marys.
    Bersamaan itu seorang dengan penampilan berwibawah. Mampir mendekat.
  "Bagai mana pestanya," tanya Tuan Handoyo.
  "Pestanya hebat om, pak, e tuan..." sahut Otpic.
  "Panggil saja aku Om, kesannya kan lebih enak."
  "Siap om!" jawab spontan Rian.
  "Kamu Rian, putranya Abdul hanif kan," tebaknya.
  "Iya om!"
  "Oh ya. Ini, kalian para murid2 smu Imfrestkan."
  "Betul om," lantang Otpic.
  "Maaf om. Boleh ku tanya," ucap Rian.
  "Silakan!"
  "Ini mengenai undangan khusus itu. Apa benar om yg mengundang teman2 saya ini?"
     Tuan Handoyo menganguk. "Sebenarnya putri kulah yg meminta kalian untuk di undang. Dan juga beberapa teman sekelasnya."
  "Sekelas? Apa maksut om," potong Digki.
 
  "Ya teman sekelasnya, kelas satu! Smu Imfrest."
 
... 
    Tuan Handoyo memang pemilik sekolah smu Imfrest itu. Tapi, ia sama sekali tak ikut campur pada proses belajar mengajar di sekolah. Ia hanya membiayai proses jalannya sekolah. Dan Tuan Handoyo memang tak tau kabar dan isu yg beredar di sekolah akhir2 ini...
  "Putri om yg mana?" Marys tidak mengerti.
  "Siapa namanya om," lanjut Digki.
  "Namanya Anisa putri dewi. Kalian teman2nyakan?"
  "Aku teman sekelasnya om. Kalau mereka2 ini, kakak kelas kami!" tegasnya.
  "Oh begitu, Nisa kemana ya ada temannya datang kok nggak di sambut. Sebentar ya," Tuan Handoyo pun pergi dari kerumunan beberapa anak2 kelas dua ini.
    Keheningan melanda di antara meriahnya pesta.
  "Anisa putri dewi. Yg di kenal sebagai si pelayan oleh kita2, teman2 sekolahnya. Ternyata adalah seorang cinderlela yg datang dari istana kerajaan," Otpic mendongeng. "Cinderlela bukannya cewek miskin dan lalu di pinang jadi putri. Lalu bedanya dengan Anisa apa?" Otpic bingung sendiri.
  "Diam!" bentak Digki.
    Pesta tetap berlanjut. Setela segelumit tau siapa Anisa. Marys dan Pricilla tak banyak omong di depan Anisa. Begitu juga dengan Digki dan beberapa teman yg mendengarkan percakapan barusan. Rian juga nggak bisa berkata apa2 pada Anisa.
   Hanya Otpic yg masih bersikap wajar saat berhadapan dengan Anisa. Sama saat ia waktu belum tau siapa Anisa.

    Ke esokkan harinya. Suasana di sekolah sunggu berbeda. Biasanya setiap, ia masuk sekolah. Celotean pelayan akan terdengar di kanan kirihnya.
   Tapi sekarang. Tak ada suara sama sekali, sunyi!.
   Di lorong kelas itu, Santi menghampiri Anisa yg sedang berjalan santai, seperti biasa.
  "Kok sepi, kemana semua orang?"
  "Sepertinya mereka semua suda tau siapa kamu, Nis!"
  "Aku? Si pelayan."
  Santi menghela nafasnya. "Jangan belagak tulalit de."
  "Apanya?"
  "Anak bos...!" tegas Santi.
  "Ow..." Anisa mengerti. "Dari mana mereka semua tau? Kau ya!" tuduh Anisa.
  "Enak aja! Maunya si. Tapi sepertinya berita ini dari pesta semalem di rumahmu itu, Nis!" selidik Santi.
    Anisa mengganguk paham. "Ini, pasti papi yg ngomong pada mereka semalem. Pantas saja, saat aku kenbali dari ambil limun jus. Marys diam, Pricilla juga!"
  "Marys," Santi senang.
  "Iya Marys, semalam setela ku tinggal. Ku lihat papi datang mendekat. Setelanya ya gitu. Diam!"
  "Ye...! Bukannya kau mau seperti itu, mereka semua tau siapa kamu," seru Santi.
  "Iya si. Tapi, kenapa sekarang. Coba taunya semalem, pastikan lebih seru, sekarang ya biasa aja," Nisa cemberut.
  "Ya suda, ayo!" Santi pun lalu menggandeng Anisa.
  "Eit," Anisa sigap bergaya. "Siapa kamu. Berani2nya nyentu anak bos!"
  "Sebel. Ya suda da..."
  "Ikut..." Anisa pun menyusulnya dan lalu menjejeri Santi.
    Perjalanan kekelas mulus2 saja. Perjalanan berlanjut menuju kantin. Celotean yg selama ini terdengar berkoar2. Semua terlihat lesuh dan tertunduk. Anisa jadi agak tak bersemangat dengan semua hal ini.
  "Stop," Otpic berlagak. Di saat Santi hampir mau duduk di kursi kantin.
  "CC, apa?" bentak Santi balik.
  "Hu, galak amat. Cepat tua loh..."
  "Apa kau bilang!" Santi kesulut.
     Anisa meringis melihat pemandangan itu. "Suda2. E pic, ada apa?"
  "Sebentar lagi. Bell masuk dan aku akan ketemu dengan seseorang di sini. Bisakah kalian pergi."
  "Dengan siapa," sahut Anisa penasaran.
  "Tolonglah. Pergilah, cepat. Biar aku aja yg jadi endingnya dari cerpen Identitas pelayan ini ya," pintanya.
  "Enak aja, nggak seru tau," Santi mengangkat kepalan tangannya ke depan muka Otpic.

      "Plis!"
   "Ya suda. San ayo."
  "Enak di dia, enak aja! Ceritanya kan masih panjang. Tentang kakaknya  Anisa yg tampan itu belum..."
  "Sudalah!" Anisa pun menarik tangan  Santi dan lalu pergi dari kantin ini.

  Di meja kantin itu. Otpic membuka2 sebuah dokumen di hadapannya.
  "Wati nurfaidah, pemeran utama. Wasiat, warisan dan kesaktian! Menarik juga. Tapi kok lama ya, iya datang?" Otpic melihat ke kanan kirih yg di maksut belum juga terlihat.
  "Hoe. Cepatlah..., sebentar lagi akan di tutup," sebuah suara serak keras mengalun di telinga Otpic.
  "Wat..." teriakannya bikin seluru cewek2 di sekolah ini berdiri rambutnya di semua bagian.
 

Fee
 

Identitas pelayan vol 2

   Dari dalam kelas. Rian tiba2 keluar, dan langsung saja menabrak Anisa. Untungnya Anisa dengan sigap, mundur selangka.
  "Ah..." jerit Santi.
  "Maaf!" ucapnya spontan.
  "Kalau jalan lihat2 dong," Santi yg imut2 itu sewot, tela di bikin kaget oleh Rian.
Digki pun juga ikut keluar dari dalam kelas itu dan langsung mendekap Rian. "Hai para cewek!" serunya.
  "Minggir sana," tepisnya.
Tampa basa basi, Santi pun mengandeng Anisa pergi dari hadapan dua cowok tersebut. Rian tersenyum senang, memandang kepergiannya Anisa.
  "Sudalah, ayo!" ajak Digki.

Pulang sekolah. Anisa pun naik jemputan rakyat jelata. Sedangkan Santi, ia masih tinggal di sekolah, menunggu seseorang.
   Angkot yg di naiki Anisa itu pun berhenti di sebuah supermarket. Di depan supermarket itu Anisa kemudian turun, ia pun lalu masuk. Di dalam, Anisa berkeliling sebentar dan kemudian masuk ke sentrah penjualan buku.
  "Buku resep masakan seafood. Mana ya," Anisa menunjuk ke beberapa rak buku.
  "Oh si pelayan," sapa Pricilla yg kebetulan di toko itu juga.
  "Hai Pris," sambut Anisa dengan senyuman.
  "Pricilla, ini!" Marys memanggilnya.
  "Hai!"
  "Si pelayan. Mau apa kau di sini," ujar Marys dengan nada mengejek.
  "Mau beli buku."
  "Emangnya kau ada dana gitu," lanjutnya.
     Anisa hanya tersenyum. "Permisi," ia pun berlalu dari hadapan dua cewek tersebut.
  "Jangan coba2 dekati Rian. Awas kau...!" lantang Marys, berkumandang di dalam toko buku itu.
    Di depan supermarket itu. Anisa bertemu dengan Digki dan Sivia berduaan. Sivia pun menyapa Anisa.
  "Hai Nisa, baru belanja apa?" Sivia, sapanya lembut.
  "Baru cari buku resep masakan kak," sambutnya pada kakak kelasnya itu.
  "Wah asyik tu. Bisa masak."
  "Bisa kak?"
  "Wah lain kali ajari aku ya!"
  "Boleh aja kak. Nanti aku akan ke rumah kakak," jawabnya mantab. Padahal, ia sendiri belum mahir memasak.
  "Terima kasih ya."
    Anisa mengenalnya seminggu ini pada waktu keduanya lagi menolong seorang anak yg tersesat di keramaian pasar malam waktu itu. Sejak itu ke duanya akrab berteman. Dan ternyata Sivia adalah salah seorang guru. Di sekolah anak jalanan dekat terminal.
  "Iya kak, aku balik dulu ya," Sivia pun berbalik.
  "E tunggu," cegah Digki.
  "Ada apa kak?"
  "Sebentar...? Mana ya dia...," Rian pun muncul di antara deretan mobil. "Na! itu dia."
  "Hai."

  Tampa menjawab. Anisa hanya terdiam memandang Rian. Di waktu itu juga, Marys tiba2 keluar dari mal tersebut. Marys muncul langsung menyenggol Anisa hingga terjatu. Pricilla juga keluar dari mal tersebut.
Rian pun dengan sigap menolong.
  "Kau tidak apa2kan!" tanyanya.
  "Sorry?" ujarnya Marys.
  "Anis kau tak apa2kan," lanjut Sivia dan lalu memapanya berdiri.
  "Tak apa2 kak. Permisi!" ujarnya.  Anisa pun pergi dari depan mal itu.
  "Suda. Biarkan saja si pelayan itu pergi. Kan masih ada aku?" Marys dengan genitnya lalu memegangi tangan Rian.
    Anisa dengan sedikit tak enak hati pergi dari hadapan para kakak kelasnya itu. Sepertinya Anisa ada rasa pada Rian.
 
   Malam ini akan ada pesta hajatan untuk tiga anak perusahaan cabang yg baru di bangun di indonesia timur.  Dan pengangkatan direktor baru di anak perusahaan cabang tersebut.
    Pesta itu di adakan di kediaman Tuan Handoyo, selaku Direktor utama dan pemilik dari perusahaan Handoyo company. Pesta hajatan itu mengundang seluru pegawai kantor setingkat menejer pemasaran di seluru kantor cabang anak perusahaan, beserta keluarga mereka.

    Malam pesta pun tiba. Halaman kediaman Tuan Handoyo yg sangat luas itu di sulapnya jadi tempat penyelenggaraan pesta. Seluru hidangan suda di siapkan. Para pelayan sibuk mengisi gelas2 air minum.
   Di dalam istana tuan Handoyo, kesibukan juga terjadi.
  "Sayang, sebentar lagi para tamu akan datang," maminya Nisa pun mengetuk pintu kamar putrinya itu.
  "Bentar mi..., lagi sibuk ni," Tak seberapa lama setela itu, Anisa pun keluar dengan busana setelan seragam pelayan.
  "Sepertinya yg melayani kekurangan orang de mi?" kilahnya.
  "Sayang! Kamu ini apa2an si."
  "Da mi...!" Anisa pun pergi ngeluyur tanpa memperdulikan maminya.
     Para pelayan hanya tersenyum geli, memandang anak majikannya itu, dengan tingkanya yg semakin hari nggak bisa di tebak, maunya apa!
  Di luar, di taman.
  "Nisa!" panggil Santi, temanya yg cantik, kecil imud2 itu.
  "Iya," Anisa pun melengos.
  "Nggak lagi de!" Santi mengelu melihat penampilan sahabatnya.
  "Kenapa?"
  "Ya ampun! Nis... Dalam acara sepenting ini, kau masih seperti ini! Apa yg akan di katakan mamimu?" Santi menggelengkan kepalanya.
  "Hi..."
  "Ye, malah ketawa?"
  "Mami si agak sedikit protes tadi. Selama papi nggak ngelarang. Semua beres, mami nggak akan bisa berbuat apa2!" jawabnya.
  "Ya, ya! Secara putri bos besar gitu."
    Keduanya pun kemudian berkeliling di tengah pesta.

    Di sudut taman dekat tempat penyajian. Rian datang menyapa Anisa yg lagi menuangkan air.
   "Hai...!"
  "Iya," responnya.
  "Malam ini kau cantik!" pujinya.
  "Ha...! Kak, nggak salah ni."
  "Emang kenapa?"
  "Aku?"
  "Seorang pelayan kan juga manusia!"
  "Ha ha ha...," Nisa pun tertawa renya.
  "E em," mbak Earsi hanya lewat.

  Anisa berhenti tertawa. Rian tersipu dan menunduk meminta maaf.
  "Hai Rian," Marys muncul tiba2, ia kemudian menjejeri Rian.
  "Permisi," sela Anisa.  "E tunggu. Bisa kau ambilkan limun jus yg ada di meja sana itu," Marys menunjuk tempat dekat pintu masuk.
  "Iya? Permisi," Anisa pun berlalu pergi.
    Tak lama setelanya. Digki dan kedua temannya Seno dan Rovil pun datang.  Beberapa anak kelas satu dan kelas dua juga terlihat berbaur di antara pesta perusahaan ini.
  "Hai," Digki dan Rian pun kemudian bersalaman dengan gaya mereka. Tos genggam tangan dan tendangan kaki kuda.
  "Kalian, bagai mana bisa masuk ke sini?"
  "Ikut Digki!" jawab Seno.
  "Yg ku maksud. Pesta inikan hanya untuk para pegawai perusahan dan keluarganya. Sedangkan kalian?"
"Undangan khusus!"
  "Khusus?"
  "Sudalah jangan di pikirkan. Bukan hanya kita saja yg dapat undangan khusus. Ada beberapa anak kelas satu dan dua juga!" jelas Digki.
"Kita nikmati aja pestanya," tamba Rovil sambil manggut2 mendengarkan musik.
    Rian bisa mengerti. Mungkin teman2 itu dan para cewek2 ini dan juga para anak2 kelas satu dan dua itu memang di undang khusus oleh Tuan Handoyo. Tapi apa alasanya? Bahkan Tuan Handoyo sendiri tak mengenal Digki. Lalu bagai mana dengan anak kelas satu dan dua itu?
Rian berpikir, apa semua ini ada hubungannya dengan Anisa si pelayan.

 
          Continued...

 

Identitas pelayan vol 1

    Pagi itu di smu imfrest. Di kelas 1a. Bu Nasi'a datang bersama dengan seorang siswi baru. Siswi itu berpenampilan tak begitu cantik, tapi enak tuk di pandang.
  "Anak2 perkenalkan, ini teman baru kalian. Anisa perkenalkan dirimu," suruh Bu Nasi'a.
    Anisa terdiam, ia bingung harus mulai dari mana.
  "Hoe! Kok diam, ngomong dong," ujar seorang siswa di belakang.
Otpic pun berdiri.
  "Tenang, ada akang di sini. Siap mendengarkan? Kok," tandasnya.
  "Hu..," satu kelas pun menyorakinya.
     Anisa pun meringis memperlihatkan giginya. "Namaku Anisa putri dewi."
  "Namanya boleh si, tapi kok penampilannya enggak. Ha..," sahut siswa yg tadi.
  "Frastyo, diam!"
  "Aku pindahan dari luar kota. Panggil aja aku Nisa!. Uda gitu aja."
  "Anisa! Sekarang kamu duduk di..."
  "Di situ aja bu!" Nisa menunjuk ke bangku kosong yg di tinggalkan penghuninya, Hadi!
...
   Sepengal sejarah. Dua minggu lalu, Hadi meninggal dunia karna kecelakaan. Dan sejak hari itu, tak ada yg mau duduk di kursinya Hadi. Bahkan Antok yg dulu duduk di sampingnya. Suda pinda dan sekarang duduk bersama Sarno.
    Seminggu lalu, Memy pun mundur kebelakang, untuk menepis anggapan mengenai isu cerita bangku kosong tersebut. Seperti yg telah di filmkan.
Dan benar, selama beberapa hari ini Memy yg jadi relawan duduk di situ tak mengalami apa2. Walau begitu tetap saja tak ada yg mau doprok di bekas kursinya Hadi itu.
    Dan sekarang bangkunya Hadi itu tela di duduki oleh Anisa. Memy sendiri bergeser di bangkunya Antok dulu. Dan kursinya yg di depan, sekarang di pakai Susi.
...
  "Sekarang, kita mulai pelajarannya," seru Bu Nasi'a.
pelajaran pun di mulai seperti biasa.
    Jam istirahat tiba. Anisa masih belum memiliki teman. Ia duduk sendirian di bawah pohon di depan kelas.  Memy teman sebangkunya. Orangnya dingin dan tak banyak bicara, ia juga lebih suka sendirian dan hanya sesekali berbincang dengan Susi.
  "Hai! Aku Santi yg duduk di depanmu," sapanya.
  "Aku Anisa..."
  "Aku suda tau, tadi kau suda bilang di kelas," potongnya.
  "A, iya!" Nisa pun tersenyum senang.
  "E kau tinggal di mana?" tanya Santi.
  "Aku tinggal di jalan Jendral Sudirman, di rumah nomor 17 blog 2," jawabnya.
  "Itu! Itu kan rumahnya Tuan Handoyo. Seorang kolomrad pemilik dari Handoyo company, beliau juga pemilik dari smu ini. Apa kau putrinya...," Santi agak terkejut.
    Anisa tertawa ngakak. "Apa kau percaya aku ini anaknya," ujarnya sambil menarik kerah bajunya. Dan memperlihatkan kesan, nggak mungkin, ia anak seorang jutawan kaya raya.
    Santi berpikir sebentar. "Iya juga si?"
    Selanjutnya Nisa dan Santi pun mengobrol akrab dan berlanjut di kantin. Keduanya juga tela mengikrarkan diri jadi teman.

   Hari ini Anisa, sehabis pulang sekolah. Ia langsung saja masuk kamarnya. Setengah jam di kamar. Nisa pun keluar dengan dandanan sederhana. Mirip baju seorang anak perawat kebun.
    Dengan penampilan seperti itu. Anisa pun ikut2an mengorek2 tanah dan mencabuti rumput seperti seperti pak Wano yg seorang tukang kebun di kediaman papinya. Ia melakukan kegiatan ini dengan suka cita.
   "Non Nisa! Hentikan, nanti ibuk bisa marah kalau lihat non Nisa seperti ini," kata mbak Earsi salah seorang pelayan di rumahnya.
   Tanpa memperdulikan kata mbak Earsi. Nisa tetap saja melakukan yg jadi hobby barunya itu.
   Mbak Earsi dan beberapa pelayan yg lainnya. Terus berusaha membujuk anak majikannya itu. Menata halaman, menyiangi rumput dan menyiram bunga adalah kerjaan pelayan. Ribut2 itu pun di dengar Fatimah maminya Anisa.

    "Ada apa ini ribut2."
  "Maaf Nyah. Non Nisa, itu...!"
  "Nisa?" Fatimah pun memandang anak kesanyangnya itu yg berpenampilan kumal dan lusuh. "Sayang! Kamu lagi ngapain..." ujarnya sambil mendekati putrinya itu.
  "Ini yg di sebut belajar edukasi, mi...!" jawabnya tanpa memperdulikan maminya.
  "Sayang kenapa kamu lakukan ini. Emangnya apa si yg kamu pelajari dari prancis sana?"
  "Papi..., boleh ya," ujarnya yg langsung di tujuhkan pada papinya yg lagi menyaksikan adegan ini.
   Fatimah dan para pelayan pun memandang Tuan Handoyo yg tiba2 muncul itu. Tuan Handoyo pun mengangguk.
  "Ye...! Terima kasih pi..."
  "Papi...!" Fatimah protes pada suaminya.
  "Sudalah mi..., biarkan saja dia," Tuan Handoyo pun kembali masuk, Fatimah istrinya menyusul di belakangnya.
    Atas ucapan majikannya itu. Semua pelayan kecuali mbak Earsi masuk kembali kedalam.

   Sebulan suda Nisa bersekolah di smu itu. Dalam sebulan ini, yg tau bawah Anisa anak seorang anak dari pemilik sekolah, hanyalah kepala sekolah dan Santi yg jadi temannya kini.
   Di sekolah ini ada seorang pemuda yg akhir2 ini. Sepertinya, ia menyukai Anisa. Namanya Rian, ia tampan dan di sukai banyak cewek. Salah satunya, ialah Marys, kelas 2b. Ia cantik anak seorang direktor di salah satu anak perusahaan Handoyo company.
   Sebulan suda. Tela banyak beredar kabar bawah Anisa adalah seorang pelayan di kediaman bapak Handoyo. Dan itu sebabnya Anisa bisa bersekolah di smu Imfrest ini, sekolah elite ternama. Anisa sendiri tak ambil pusing mengenai soal kabar miring tersebut.
   Di kantin. Anisa dan Santi duduk bersama menikmati camilan.
  "San, pulang nanti kau tak ada acarakan?"
  "Emang kenapa!"
  "Ada film bagus. Kita nonton yuk, aku yg traktir," lanjutnya.
    Di belakangnya, Pricilla dan Marys datang mendekat.
  "Hai teman2 si pelayan ini, enaknya di suruh ngapain ya?" celote Marys yg di tunjukkan pada para siswa di kantin.
  "Suru bersikan toilet aja?" lanjut Pricilla.
   Mendengar itu, Santi pun berdiri. "Kalian!"
   Anisa pun buru2 menarik tangan temannya itu dan menyurunya duduk.
  "Rupanya teman si pelayan ini tersinggung ya, kasihan," ledek Marys.
  "Lihat saja nanti. Kalian akan tau rasa!" ancamnya, Santi.
  "I, takut?"
  "Sudalah San, orang2 seperti mereka ini tak pantas kita dengarkan," Anisa pun berdiri dan mengandeng Santi pergi.
 
  Di lorong kelas.
  "Mereka semua suda keteraluan. Nis! Kenapa tak kau umumkan saja siapa dirimu, biar mereka semua tau rasa..."
  "Iya juga si! Tapi, biarlah mereka tau sendiri nantinya. Aku ingin tau aja, bagai mana tingkah mereka saat itu," Anisa meringgis, menghayalkan.
 

Continued...

Rabu, 06 Juni 2012

Hantu lagi sekolah




     Pagi itu seperti biasa. Hadi berangkat ke sekolah dengan mengendarai sepedanya. Di jalan Hadi bergegas, ia bangun telat, kesiangan. Hari ini akan ada ulangan matimatika dari pak Jiman. Guru kiler di sekolah.
Sampai di dekat tikungan. Hadi pun menambah kecepatan sepedanya.
  "Gawat! Bentar lagi uda jam tujuh. Jangan sampai terlambat. Bencana, kalau sampai telat di mata pelajaran pak Jiman!" ujarnya setela melihat jam di tangannya.
     Di depan sana. Sebuah mobil truk terlihat melintas dengan kecepatan tinggi. Hadi yg seketika menyadari ada mobil di depannya itu. Langsung membanting setir sepedanya kekirih. Benturan pun tak terelakkan terjadi. Hadi terserempet, ia terpental jatuh di semak2 sejarak bermeter dari tempat tabrakan.
  "Aow, sakit...," rintinya sesaat. Hadi pun lalu bangun dari tempatnya nyungsep. Hadi kemudian kembali melihat jam di tangannya.
  "Gawat! Telat," Hadi segera mengangkat sepedanya yg juga terlempar dan jatu di dekatnya. Dan dengan terburu2, ia pun secepatnya mancal sepedanya itu ke sekolah.
     Di sekolah, suda jam 7 pas. Pintu gerbang belum tertutup. Hadi langsung saja nyelonong masuk dan menuju keparkiran. Sampai di parkiran sepeda. Hadi baru bisa bernafas lega.
    Bell penanda masuk belum belum terdengar. Para siswa masih banyak terlihat berkeliaran.
  "Hei, Tok," sapanya pada teman sebangkunya itu.
     Antok pun mendekat. "Had! Kau kotor sekali, habis gulat dari mana?"
  "Gulat! Gulat dengan embamu?"
  "Sorry bro!" ucapnya meringis.
  "Ini suda jam tujuhkan?"
  "Para guru2 sepertinya ada urusan mendadak. Jadi jam pelajarannya, sepertinya akan mundur."
  "Mundur? Memang ada sejarahnya gitu?" Hadi heran aja. "Tapi, sukurlah. Nyesal aku terburu2. Sampai jadi begini," Hadi pun lalu membersikan bajunya yg agak kotor itu.
  "Sebenarnya kau baru ngapain!"
  "Saat berangkat tadi. Hampir saja aku mati, keserempet truk. Sampai di sekolah, e... cuma begini, kupikir telat!" Hadi pun bernafas, tapi, ia merasa tak merasakan hawa nafasnya. Hadi terdiam sesaat dan memyentuh hidungnya. Mukanya baik2 saja tak ada apa2.
 
     Antok pun kemudian mendorong Hadi berjalan kekantin. Sampai di kantin. Ke duanya duduk di sudut kantin. Bersandar santai.
  "Hai Memy," sapa Antok pada cewek barusan lewat itu.
    Memy pun berhenti. Ia kemudian memandang Hadi. Ia lalu mengeluarkan sebuah bandul dari sakunya. Memy pun menggoyang2kan bandul tersebut di depan muka Hadi.
  "Percuma tak akan mampan," sahut Hadi sinis.
  "Kau bukanlah lagi manusia? Istirahatlah dengan tenang," ujarnya dengan nada dingin. Memy kemudian berlalu saja dari depan Hadi.
  "Dasar cewek gila!" balas Hadi sambil bersandar santai.
  "Hi..., kau itu siapa," ucap Antok dengan gaya mengidik.
  "Hantu. Hi hi hi..." Hadi tertawa menyeramkan. "Suda jangan ikut2 gila," selaknya.
  "Hai bro..." sapa Sarno dari sampingnya Hadi.
  "Sar, gimana?" tanya Antok.
  "Gimana apanya?" Hadi menyela.
  "Acara fromnite!"
  "Fromnite. Bukannya itu untuk anak klas tiga saja. Kalian mau ngapain?" Hadi ingin tau.
  "Belajar dari anak kelas tigalah! Sebentar lagikan giliran kita!" jawab Sarno dengan fesion menyenangkannya.
  "Fromnite? Apanya yg bisa di pelajari?" Hadi menggaruk kepalanya tak faham.
  "Berakit rakit ke hulu. Berenang renang berikutnya. Kita curi ilmunya dulu. Setela itu tinggal memacarin ceweknya," kata Sarno seenaknya.
  "Nggak nyambung," Hadi pun menggeleng2kan kepalanya.
   "Hadi! Kau ikut nggak, lusa!"
  "Nggak?" Hadi mempertegas diri.
  "Tok, itu!" Sarno menunjuk ke arah seorang wanita.
 
     Antok pun menengok. "Rudya!" Antok segera berdiri, ia pun melangkai Hadi dan akan kabur dari kantin ini.
  "Ih, minggir sana!" Hadi pun menghalau pantatnya Antok yg hampir mengenai mukanya.
   "He kalian, jangan bilang aku kemana! Awas!"
  "Oke bro," ujar Sarno.
  "E sebentar!" bisiknya. Hadi pun kemudian melihat si cewek gendut tersebut yg sepertinya menuju ke kantin.
  "Apa?" Antok agak penasaran.
  "Rudya...," Hadi pun teriak. Seketika itu Rudya menengok.
  "Oe hanny!"
  "Dasar gila kalian," Antok pun lari kalang kabut dari kantin.
  "Aku nggak ikut2an," sahut Sarno.
 

               Jam 8.
     Hadi seorang diri berjalan di lorong sekolah. Bayangan waktu berangkat sekolah tadi, terlintas di kepalanya. Begitu juga dengan yg di katakan Memy. Hadi merasa ada yg aneh pada dirinya, tapi ia tak merasa ada apa2.
    Bell masuk pun berkumandang. Seluru siswa segera kelasnya masing2.
    Di kelas dua itu. Di tempat duduknya Hadi. Ia duduk murung dan menunduk lesuh sendirian, Antok teman sebangkunya nggak tau kemana dia. Bu Nasi'a pun muncul dari balik pintu.
  "Selamat pagi anak2. Suda masuk semua," salamnya.
  "Suda bu...," jawab beberapa siswa.
  "Bu Nasi'a! Pak Jiman mana?" tanya Santi cewek paling imud di kelas.
  "Beliau dan beberapa guru lainnya. Ada urusan penting, ia nggak bisa mengajar hari ini."
  "Ye.....a!" sorak sorai beberapa siswa.
  "Suda2 diam...," printah Bu Nasi'a. "Suda kita ulangan saja!"
  "Ya...," Sarno lemes. Barusan lolos dari pak Jiman, sekarang ada ulangan dadakan.
      Brug! Antok datang dengan nafas memburu, ia menabrak pintu. "Maaf Bu, telat. Ada kuntilanak?"
  "Hanny...!" Rudya juga muncul dengan genitnya.
  "Kalian, cepat duduk!" tegas Bu Nasi'a.
  "E ibu, maaf," Rudya kalem.
     Anton dan Rudya pun kembali ketempat duduknya masing2.
  "Sarno, hapus papannya."
  "Siap bu!" ucapnya datar. Sarno pun maju ke depan.
      Bersamaan itu. Pak Dartom si kepsek datang bersama seorang bapak2. Pintu pun di ketuk.
  "Permisi."
  "Iya pak, ada apa ya."
  "Saya utusan dari bapak Wiyanto. Orang tua dari murid ibu bernama Hadi sutain. Sekedar memberi kabar. Hadi sewaktu berangkat tadi, tela mengalami kecelakaan. Ia sekarang di rumah sakit, ia meninggal!" jelas utusan itu.
   "Meninggal, Hadi murid saya cuma ada satu pak? Hadi yg mana ya?"
      Bapak itu bingung di bilangin begitu. Pak kepsek pun pastikan Hadi murid kelas 2a smu ini.
  "Hadi?" Bu Nasi'a pun menunjuk Hadi yg sedang duduk diam di bangkunya.
      Bapak itu pun masuk, ia kemudian melihat Hadi yg duduk di mejanya. Seketika itu bapak tersebut langsung lari ketakutan.

     Beberapa murid pun berdiri melihat adegan itu.
     Memy pun ikut berdiri dan menoleh ke belakang. "Hadi! Kau bukan lagi manusia," ucapnya dengan gaya paranormal sambil menunjuk.
     Hadi pun kemudia mendongak. Kedua matanya suda menghitam dan wajahnya pucat seperti mayat. Antok yg duduk di samping Hadi. Segera berdiri dan terbirip2 ke depan. Hal itu juga di ikuti oleh beberapa siswa lainnya, terutama para cewek2 dan hampir semuanya ikut merangsek kedepan. Hanya ada tiga siswa yg masih di tempat duduknya. Santi,  Memy yg duduk di depannya. Dan Otpic yg cuma bengong di tempat duduknya di belakang kanannya.
      Sesosok berjuba hitam dengan tongkat penjapit kepiting tiba2 muncul di samping kirih Hadi. Sesosok berjuba putih juga ikut muncul di samping kanan Hadi, dengan membawah tongkat kepalan tangan kanan manusia yg menunjuk.
      Kemunculan kedua sosok tersebut membuat seluru siswa yg berdiri di depan kelas, kocar kacir, berhamburan keluar.
  "Hadi! Suda waktunya kau ikut kami."
     Hadi pun menoleh ke kanan kirih. Hadi tak takut, tapi bingung.
  "Suda sana pergi, dan jangan ganggu yg masih hidup! Oke," ujar Otpic sekenanya. "Barusan aku ngomong apa ya?" Otpic bingung.
kedua penampakan yg terlihat jelas di mata manusia itu pun lalu memegang pundak Hadi.
  "Jadi!" ingatan tentang sejam lalu segera terlihat sangat jelas di benak Hadi. Ia terlindas truk, bukan terserempet seperti yg di rasakan tadi.
  "Bila aku punya salah pada kalian. Tolong maafkan aku!"
"Pergilah kau dengan tenang. Aku maafkanmu! Itu untuk semua kata2 kau mengatai aku!" sambung Memy sambil mengankat kedua telapak tangannya dan berdoa.
   Hadi beserta kedua hitam putih itu pun lalu menghilang di dalam kelas itu.
  "Aku memaafkan mu teman. Semoga kau tenang di sana," lanjut dari Otpic yg hanya jadi temannya di sekolah.
  "Selamat jalan sobat!" tamba Antok, ia pun berlinang air mata.
     Suasana duka, di susul isak tangis beberapa siswa mengema. Bu Nasi'a pun membubarkan kelas dan mengajak para murid sekalian untuk ngelayat di kediaman orang tua Hadi.
  "Selamat tinggal wahai kawan. Semoga kau di terima disisinya," Ucap dari hati seluru teman sekelasnya Hadi.
 
T
 

Anak petir




        Sebuah kasus pembunuhan tela terjadi. Petunjuk dan barang bukti, hanyalah sepucuk surat yg ada di tangan si korban.
  "Bagai mana?" tanya seorang komandan kepolisian pada penyidik yg sedang mengamati surat tersebut.
  "Kurasa surat ini bukan di tulis si korban. Walau pun kelihatannya surat ini di tulis dengan tangan kanan, tapi sebenarnya ini jelas di tulis dengan tangan kirih."
  "Jadi! Ini bukanlah kasus bunuh diri.
Dan yg menulis surat ini. Adalah seorang yg bertangan Kidal. Dan mungkin dialah pelakunya." tamba penyidik lain.
"Lalu, siapa orang yg bernama Black coat itu?" ujar sang komandan.
.......
 
     Itu sepengal adegan film yg sedang di tonton Konsu, seorang anak muda usia Sma.
     Di saat seru2nya itu. Tiba2 film tv yg di tontonnya itu padam. Bersama itu, Erin kakaknya teriak memanggilnya dari dapur.
  "H...? Mati!" Konsu pun berdiri dan memeriksa lampunya. "Ah...! Sial. Pakai mati listrik segala."
  "Konsu... Kesini, cepet," panggilnya ulang.
      Konsu dengan agak sedikit kesal, ia pun pergi ke dapur. "Apa2an si, teriak2 melulu. Nggak lihat apa? Orang lagi sebel," grutunya.
  "Konsu..."
     Di dapur.
  "Kak, ada apa si? Ribut amat," tanyanya.
  "Ini!" kakaknya itu pun menyodorkan uang seratus ribu pada adiknya. "Tolong belikan, ini daftarnya."
  "Apa ini?" Konsu pun membaca daftar tersebut. "Bumbu?"
  "Suda berangkat sana! Sebentar lagi ayah akan pulang. Ikan ini harus segera di masak," lanjutnya.
  "Iya," Konsu pun berangkat.
  "Beli di mal pasarindo ya, cepat..."
  "Iya," jerit balik Konsu saat membuka pintu.
  "Jangan lupa buah kaktusnya..."
  "Iya, bawel..."
      Di luar. Konsu mencari motornya, ia pun ingat, motornya lagi masuk bengkel tadi pagi.
   "Ah sial. Motor di bengkel lagi," grutunya.

       Angkot pun terlihat melintas. Konsu kemudian langsung berlari menghadang angkot tersebut. Angkot itu pun berhenti, Konsu kemudian segera masuk angkot tersebut.
       Bebesapa saat berlalu, angkot itu pun melewati mal yg di tujuh. Konsu segera menghentikan angkotnya. Ia kemudian turun.
  "Utang dulu pak. Nggak ada uang kecil," ujarnya.
  "Enak aja utang, bayar!" tagih si supir angkot itu.
  "Maaf pak, poko'e utang dulu, da..."  Konsu langsung berlari ke mal tersebut.
     Sampai di mal, Konsu langsung masuk mal itu dan mengambil keranjang belanjaan. Konsu pun kemudian segera masuk ke bagian bumbu dapur. Seorang satpam datang menghentikan Konsu.
  "Maaf dek, mal ini di tutup. Untuk sementara sampai waktu yg tak di tentukan."
  "Tutup, apa maksudnya."
     Satpam itu tak menjawab.
  "Ini kan masih siang kenapa di tutup. Tolong buka dong..." rengeknya.
  "Begini adik manis, listriknya lagi padam. Jadi mesin kasirnya tak bisa dinyalakan," jelas satpam tersebut.
  "Adik manis, kapan aku jadi adikmu?"
  "Silakan anda pulang dulu. Mal ini di tutup. Kalau listriknya suda nyala lagi. Adek boleh datang kembali."
  "E pak satpam. Kenapa nggak pakai saja generator," timpal Konsu.

    Satpam yg tak banyak bicara itu pun langsung menggelandang Konsu keluar dari mal.
  "E pak satpam. Bukain dong... Kalau tidak, aku bisa mati ni...," rayunya.
     Pak satpam itu pun lalu menempel secarik kertas pengumuman di depan kaca pintu mal. Si satpam itu kemudian memandang lekat Konsu. Konsu di buatnya kekih dengan pandangan tajam satpam tersebut.
       Konsu akhirnya berjalan pergi menggelandang lemas. Ia pun kemudian duduk di lantai pagar mal itu.
  "Ini semua gara2 listrik? Listrik sialan..., pakai mati segala. Awas kau kalau ketemu?" Konsu teriak2 kayak orang gila.
     Tiba2 langit menjadi gelap. Angin dingin pun berhembus. Dan suara petir menggelegar dengan kerasnya. Para pengujung mal itu yg masih menunggu. Semua berhamburan menyelamatkan diri dari rinai air yg mulai menetes dari langit. Petir kembali bergelegar dengan lantangnya.
  "Wah du? Gawat, bokapnya marah tu! Sepertinya..., lebih baik aku segera pergi saja dari sini. Kak Erin, maaf ya."
     Konsu pun buru2 pergi dari mal tersebut. Hujan mulai deras. Konsu pun bertedu di bawah payung di tempat parkiran. Setela sejam, hujan pun berhenti.
  "Sepertinya aku memang harus cari di pasar lain. Mungkin kalau aku beli di sana masih ada sisanya dan bisa... aaah, beres!" Konsu dengan nada senang. Ia pun melenggangkan kakinya dari mal tersebut.
  "Dasar listrik jelek, jelek, mampus saja kau?!" Konsu bernyanyi2 riang.
 
      Di langit mendung kembali pekat. Dari mendung yg cuma sebongka itu, terlihat seperti listrik super menyelubungi awan hitam itu. Awan itu pun lalu menggelegar mengeluarkan sambarannya. Konsu yg ada di bawahnya seketika langsung di jilat petir tersebut.
     Konsu tergeletak. Ia tak mampus, ia hanya gosong, parah?
  "Ampun..."
  "Petir, listrik dan yg lainnya itu adalah anugrah dari yg kuasa. Kalau bicara jangan seenak jidatmu"
 
                               Hi....

 
T
 

Jumat, 01 Juni 2012

Pendekar Atas awan.



     Fudu adalah seorang pemuda dari Desa Rusunawa. Ia melakukan perjalanan ke kota dengan tujuan berguru di salah satu perguruan di kota kerajaan.
     Fudu cuma seorang pemuda biasa dari desa. Ia bercita2 ingin jadi pendekar hebat dan bisa membanggakan keluarga dan desanya.
     Setela memasuki kota. Fudu pun menghampiri kerumunan orang2 itu. Di tengah2 kerumunan tersebut, sepertinya ada dua pendekar yg sedang berkelahi.
  "Wah! Hebat! Mereka pasti pendekar2 dari perguruan2 di kota ini," kagumnya.
  "Mereka berasal dari perguruan 'Pedang kilat' dan perguruan 'Gada besi'," sahut seorang pemuda yg juga menonton di samping Fudu itu tiba2.
  "Begitu?" Fudu menganguk2.
  "Tadi mereKa bilang ke dua perguruannya itu akan membuat cabang di pintu timur ini. Sampai saat ini mereka, kedua perguruan itu masih belum dapat ijin dari kerajaan," lanjutnya.
  "Oh? Lalu kenapa mereka berkelahi?"
  "Aku tak tau?"
  "Aku Fudu, salam kenal. Aku baru di kota ini."
  "Aku Mirza, aku juga baru di kota ini!" keduanya pun berjabat tangan.
  "Aku datang kota ini. Mau mendaftar di perguruan," lanjut Mirza.
  "Aku juga!" sahut Fudu.
  "Aku akan ku perguruan 'Pasir angin'. Aku mau mendaftar di sana. Bagaimana denganmu?"
  "Aku belum tau akan mendaftar di mana?"
  "Bagai mana kalau kau ikut aku!" akrabnya.
  "Terima kasih, teman. Tapi, aku ingin lihat2 dulu. Setela itu akan ku tentukan kemana!"
  "Semua perguruan di kota ini memiliki persaratan untuk bisa masuk. Aku suda mempersiapkan diri untuk itu."
  "Persaratan?"
  "Itu persaratan dari kerajaan. Katanya itu untuk meninggatkan kwalitas pendekar dari kerajaan ini."
  "Kwalitas?" ulangnya.
  "Oya, sampai jumpa," ujarnya setela ia menyentu jidatnya.
  "Sampai jumpa juga teman!" balas Fudu. "Kemana ya sekarang?"
     Pertarungan kedua pendekar itu tetap berlanjut. Fudu pun kemudian pergi berlalu dari tempat itu. Ia berhenti sebentar di depan sebuah otled. Fudu pun membeli beberapa buah di otled itu. Fudu melihat kanan kirih sambil mengigit apel yg di pegangnya itu.
  "E anak muda. Sebaiknya kau pergi ke balai kota. Di sana ada papan pengumuman untuk masuk perguruan," kata seorang pak tua berbaju lusuh yg berdiri tiba2 di samping Fudu itu.
  "Wah! Terima kasih pak."
 
  "50 Zver."
  "Ha...?!"
  "Informasi umum harus bayar."
  "Bayar?" Fudu pun memandang papan yg tergantung di leher pak tua itu. 'Penjual informasi umum.'
  "Kalau kau mau cari informasi yg lain. Tanyakan saja padaku. Dan harus bayar!"
  "Ini pak," Fudu tak tegah, ia pun mengeluarkan uang 50 Zver dari sakunya.
      Atas pemberi tahuan pak tua itu. Fudu pun pergi ke balai kota. Di sana, ia mencari papan pemberitauan persaratan tersebut. Fudu pun menemukannya.
    "13 perguruan! Satu lagi baru berdiri tahun ini. Persaratan...," Fudu pun menyimak imformasi yg tertera di papan tersebut.
    "Persaratannya hampir semua serupa. Ada 4 perguruan besar dan ada Persaratan tambahan. Uang registrasi 30 Zgol (1 Zgol = Rp 100 ribu. 100 Zver = 1 Zgol ). Aku tak punya uang sebanyak itu. Gimana ya..."
     Fudu menggaruk kepalanya, ia tak tau harus ngapain. Selain persaratan registrasi. Persaratan yg lain, ia harus tau dasar ilmu beladiri. Dan beberapa persaratan yg sebagian tidak, ia miliki.
     Fudu pun terduduk di bawah papan persaratan tersebut. Ia tak bisa kembali ke desa, ia suda kepalang bilang akan kembali bila suda jadi orang hebat!. Fudu bingung di tempat duduknya, sesuatu pun terlintas di benak Fudu. Fudu pun langsung bangkit, ia kembali memandang papan pengumuman tersebut. Secerca harapan masih ada.
     Perguruan ke 13 yg baru berdiri itu.
Perguruan 'Atas awan'. Persaratan hanya menerima 7 murid yg daftar pertama pada tahun ini. Tidak ada persaratan yg lain. Lokasi di bawah bukit selatan kota.
  "Masih ada kesempatan! Aku harus segera kesana," Fudu sumringa. "Tapi, hanya tujuh orang, pasti saat ini pendaftaran suda di tutup..."
     Tiba2 tas yg di pegang Fudu itu di copet seorang anak. Fudu pun langsung mengejar anak itu.
  "Oe tasku," Fudu terus mengejar anak itu. Anak itu terlihat menyelinap di antara keramaian orang di jalan. Fudu terus mengejar anak itu.
 
      Di jalan itu Fudu terhenti, ia menabrak seorang laki2 seusianya, berbaju serba hitam tertutup.
  "Maaf, maaf! maafkan...," Fudu menunduk2. Sepertinya orang tersebut tak peduli. Orang itu pun pergi begitu saja.
     Fudu kembali mencari2 anak itu. Dan sepertinya anak itu suda menghilang tak tentu jejaknya.
  "Gimana ini. Seluru uang ku ada di situ!" Fudu panik.
  "Permisi..."
    Fudu pun menengok balik.
  "Maaf, permisi. Aku mau tanya, kearah mana ya..., bukit selatan?" seorang wanita bersama temannya itu bertanya.
    Fudu menggelengkan kepalanya, ia sendiri tak tau di mana bukit selatan itu berada.
  "Lurus saja, lewati jalan ini. Sampai di arena permainan Kalkid. Setela itu belok ke kanan, kau akan lihat bukit kecil di sana. Letaknya berbatasan dengan kota."
  "Terima kasih."
  "Aku Hivan! Sampai jumpa," kata orang yg berbadan besar itu, dan ia pun pergi.
  "Maaf! Boleh aku ikut. Namaku Fudu."
  "Aku Milk dan ini Reva!"
     Reva tak bicara, ia memandangi Fudu dengan pandangan tajam. Fudu di buatnya kikuk saat balik memandangnya cewek dengan dadanan rocker itu.
  "Selama belum di coba, masih kesempatan," pikir Fudu.
     Ketiganya pun lalu pergi ke tempat yg di tunjukkan Hivan.
     Setela beberapa waktu di perjalanan. Ketiganya pun sampai di sebuah rumah gubuk kumuh. Di depan rumah itu terdapat sebuah poster bertuliskan, selamat datang di perguruan 'Atas awan'.
  "Apa benar ini tempatnya," terka Reva. "Ini tidak seperti yg di katakan jend..."
     Milk menghentikan kata Reva. Fudu tak bisa berpikir. Ia masih mengingat tasnya itu.
  "Hai! Ketemu lagi. Masuklah!" Sambut Hivan, ia duduk di atas pagar rumah tersebut.
  "Apa anda Master (sebuatan untuk guru pada perguruan belahdiri) di perguruan ini?" terka Milk.
  "Tidak. Aku mau mendaftar di sini. Dan sepertinya masih sepi. Ini perguruan yg baru berdiri. Aku ingin tercatatat sebagai murid senior nantinya!"
  "Terima kasih! Atas yg tadi," ucap Milk.

     Fudu pun masuk di ikuti Milk dan Reva. Hivan juga ikut masuk.
    Di dalam suda ada dua orang, salah satunya Mirza, kenalan pertama yg di kenal Fudu di kota ini.
  "Fudu...!" sapa Mirza.
  "Hai teman. Bukannya kau mau mendaftar di perguruan Pasir angin?"
  "Aku gagal masuk seleksi."
  "Masuk seleksi?" Fudu ingat, di papan pengumuman. Tidak di sebutkan mengenai seleksi.
  "Yg mendaptar cukup banyak dan semua memenui persaratan. Jadi di adakanlah ujian seleksi, memilih siapa yg kuat di antara kami."
  "Oh...?" Fudu mengganguk2.
  "Payah," timpal Reva tiba2.
    Mirza mengenal suara itu. "Reva!"
  "Stop. Reoninya nanti saja?" serga Milk.
  "Cewek gila," balas Mirza.
  "Selamat datang di perguruan ini. Aku Master Davano. Dengan anak ini pas tujuh orang. Ku ucapkan selamat, mulai hari ini kalian resmi jadi murid perguruan Atas awan,"
  "Itu! Tasku," Fudu pun merangsek ke hadapan Master.
  "Ini tasmu!"
  "Iya! Terima kasih master," Fudu senang.
  "Master! Dengan tempat seperti ini, apa tak salah?"
  "Ini adalah ujian pertama untuk orang2 yg akan mendaftar ke sini."
  "Ujian?" sela Fudu.
  "Kalau kalian ingin belajar ilmu beladiri. Kalian tidak akan pedulikan tempat ini. Tapi kalau kalian hanya ingin status, kalian tidak akan masuk kemari," jelas Master Davano.
    Fudu mengangguk, sebenarnya Fudu nggak mengerti, tapi ia menganguk saja.
  "Tidak perlu peresmian. Tujuh orang pertama yg melewati pintu itu, ku anggap tujuh orang itulah yg terpilih jadi murid perguruan Atas awan ini."
  "Begitu. Lebih sedikit orang, itu akan membuatku jadi murid terhebat di perguruan," ujarnya Hivan.
  "Pertama2, aku ingin tau nama2 kalian," pinta master.
  "Aku Hivan Resorsis!" sahutnya.
  "Aku Fudu, hanya Fudu," lanjutnya semangat.
  "Aku Miliana kasual. Panggil aja Milk."
  "Zessy Revalina."
  "Ramirza Surya."
  "Aku Didit Scowpy," anak kecil itu menganjungkan tangannya.
  "Lalu, bagai mana dengan mu," tanya master pada pemuda berbaju serba hitam itu.
  "Skul Rivers."
  "Oke baiklah, sekarang ikut aku," master pun masuk ke dalam rumah tersebut.
      Ketujuh muridnya itu pun mengikuti dari belakang. Master lalu membuka sebuah pintu terbuat dari besi.   Kesemuanya pun masuk. Lampu kemudian menyalah. Sebuah ruangan putih bersi nan mengagumkan.  Semua takjub, ini pertama kesemuanya melihat tempat seperti ini. Ruangan itu pun lalu bergetar tapi sebentar.
  "Kalian kemari," panggil master.
     Ke tujuh muridnya itu lalu mengikuti master.
     Fudu meliat ke luar jendela. "Wah! Ini, rumah ini terbang."


  "Ufo!" kata Skul.
  "Yah, ini adalah pesawat ufo. Dengan pesawat ini, kita akan ke perguruan Atas awan."
    Semuanya takjub dan senang. Fudu meloncat2 kegirangan. Milk juga ikut2an. Didit membuka sebuah pintu, di situ, ia pun bermain gravitasi.
    Hivan sibuk berbicara dengan master tentang semua ini. Mirza dan Reva berkelahi di pikiran. Mereka saling memandang dan saling menyerang. Skul kembali keruangan putih itu, ia pun bersemedi. Dari sinilah rencananya untuk memusnakan  kerajaan Lizardon akan di mulai. Ia harus berguru dengan orang sakti. Seperti Master Davano.

 
T

chronikle Wati

waktu yang di tentukan, sebentar lagi kan tiba...
gerbang siluman harus segara di tutup...

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More