Sabtu, 30 Juni 2012

Identitas pelayan vol 1

    Pagi itu di smu imfrest. Di kelas 1a. Bu Nasi'a datang bersama dengan seorang siswi baru. Siswi itu berpenampilan tak begitu cantik, tapi enak tuk di pandang.
  "Anak2 perkenalkan, ini teman baru kalian. Anisa perkenalkan dirimu," suruh Bu Nasi'a.
    Anisa terdiam, ia bingung harus mulai dari mana.
  "Hoe! Kok diam, ngomong dong," ujar seorang siswa di belakang.
Otpic pun berdiri.
  "Tenang, ada akang di sini. Siap mendengarkan? Kok," tandasnya.
  "Hu..," satu kelas pun menyorakinya.
     Anisa pun meringis memperlihatkan giginya. "Namaku Anisa putri dewi."
  "Namanya boleh si, tapi kok penampilannya enggak. Ha..," sahut siswa yg tadi.
  "Frastyo, diam!"
  "Aku pindahan dari luar kota. Panggil aja aku Nisa!. Uda gitu aja."
  "Anisa! Sekarang kamu duduk di..."
  "Di situ aja bu!" Nisa menunjuk ke bangku kosong yg di tinggalkan penghuninya, Hadi!
...
   Sepengal sejarah. Dua minggu lalu, Hadi meninggal dunia karna kecelakaan. Dan sejak hari itu, tak ada yg mau duduk di kursinya Hadi. Bahkan Antok yg dulu duduk di sampingnya. Suda pinda dan sekarang duduk bersama Sarno.
    Seminggu lalu, Memy pun mundur kebelakang, untuk menepis anggapan mengenai isu cerita bangku kosong tersebut. Seperti yg telah di filmkan.
Dan benar, selama beberapa hari ini Memy yg jadi relawan duduk di situ tak mengalami apa2. Walau begitu tetap saja tak ada yg mau doprok di bekas kursinya Hadi itu.
    Dan sekarang bangkunya Hadi itu tela di duduki oleh Anisa. Memy sendiri bergeser di bangkunya Antok dulu. Dan kursinya yg di depan, sekarang di pakai Susi.
...
  "Sekarang, kita mulai pelajarannya," seru Bu Nasi'a.
pelajaran pun di mulai seperti biasa.
    Jam istirahat tiba. Anisa masih belum memiliki teman. Ia duduk sendirian di bawah pohon di depan kelas.  Memy teman sebangkunya. Orangnya dingin dan tak banyak bicara, ia juga lebih suka sendirian dan hanya sesekali berbincang dengan Susi.
  "Hai! Aku Santi yg duduk di depanmu," sapanya.
  "Aku Anisa..."
  "Aku suda tau, tadi kau suda bilang di kelas," potongnya.
  "A, iya!" Nisa pun tersenyum senang.
  "E kau tinggal di mana?" tanya Santi.
  "Aku tinggal di jalan Jendral Sudirman, di rumah nomor 17 blog 2," jawabnya.
  "Itu! Itu kan rumahnya Tuan Handoyo. Seorang kolomrad pemilik dari Handoyo company, beliau juga pemilik dari smu ini. Apa kau putrinya...," Santi agak terkejut.
    Anisa tertawa ngakak. "Apa kau percaya aku ini anaknya," ujarnya sambil menarik kerah bajunya. Dan memperlihatkan kesan, nggak mungkin, ia anak seorang jutawan kaya raya.
    Santi berpikir sebentar. "Iya juga si?"
    Selanjutnya Nisa dan Santi pun mengobrol akrab dan berlanjut di kantin. Keduanya juga tela mengikrarkan diri jadi teman.

   Hari ini Anisa, sehabis pulang sekolah. Ia langsung saja masuk kamarnya. Setengah jam di kamar. Nisa pun keluar dengan dandanan sederhana. Mirip baju seorang anak perawat kebun.
    Dengan penampilan seperti itu. Anisa pun ikut2an mengorek2 tanah dan mencabuti rumput seperti seperti pak Wano yg seorang tukang kebun di kediaman papinya. Ia melakukan kegiatan ini dengan suka cita.
   "Non Nisa! Hentikan, nanti ibuk bisa marah kalau lihat non Nisa seperti ini," kata mbak Earsi salah seorang pelayan di rumahnya.
   Tanpa memperdulikan kata mbak Earsi. Nisa tetap saja melakukan yg jadi hobby barunya itu.
   Mbak Earsi dan beberapa pelayan yg lainnya. Terus berusaha membujuk anak majikannya itu. Menata halaman, menyiangi rumput dan menyiram bunga adalah kerjaan pelayan. Ribut2 itu pun di dengar Fatimah maminya Anisa.

    "Ada apa ini ribut2."
  "Maaf Nyah. Non Nisa, itu...!"
  "Nisa?" Fatimah pun memandang anak kesanyangnya itu yg berpenampilan kumal dan lusuh. "Sayang! Kamu lagi ngapain..." ujarnya sambil mendekati putrinya itu.
  "Ini yg di sebut belajar edukasi, mi...!" jawabnya tanpa memperdulikan maminya.
  "Sayang kenapa kamu lakukan ini. Emangnya apa si yg kamu pelajari dari prancis sana?"
  "Papi..., boleh ya," ujarnya yg langsung di tujuhkan pada papinya yg lagi menyaksikan adegan ini.
   Fatimah dan para pelayan pun memandang Tuan Handoyo yg tiba2 muncul itu. Tuan Handoyo pun mengangguk.
  "Ye...! Terima kasih pi..."
  "Papi...!" Fatimah protes pada suaminya.
  "Sudalah mi..., biarkan saja dia," Tuan Handoyo pun kembali masuk, Fatimah istrinya menyusul di belakangnya.
    Atas ucapan majikannya itu. Semua pelayan kecuali mbak Earsi masuk kembali kedalam.

   Sebulan suda Nisa bersekolah di smu itu. Dalam sebulan ini, yg tau bawah Anisa anak seorang anak dari pemilik sekolah, hanyalah kepala sekolah dan Santi yg jadi temannya kini.
   Di sekolah ini ada seorang pemuda yg akhir2 ini. Sepertinya, ia menyukai Anisa. Namanya Rian, ia tampan dan di sukai banyak cewek. Salah satunya, ialah Marys, kelas 2b. Ia cantik anak seorang direktor di salah satu anak perusahaan Handoyo company.
   Sebulan suda. Tela banyak beredar kabar bawah Anisa adalah seorang pelayan di kediaman bapak Handoyo. Dan itu sebabnya Anisa bisa bersekolah di smu Imfrest ini, sekolah elite ternama. Anisa sendiri tak ambil pusing mengenai soal kabar miring tersebut.
   Di kantin. Anisa dan Santi duduk bersama menikmati camilan.
  "San, pulang nanti kau tak ada acarakan?"
  "Emang kenapa!"
  "Ada film bagus. Kita nonton yuk, aku yg traktir," lanjutnya.
    Di belakangnya, Pricilla dan Marys datang mendekat.
  "Hai teman2 si pelayan ini, enaknya di suruh ngapain ya?" celote Marys yg di tunjukkan pada para siswa di kantin.
  "Suru bersikan toilet aja?" lanjut Pricilla.
   Mendengar itu, Santi pun berdiri. "Kalian!"
   Anisa pun buru2 menarik tangan temannya itu dan menyurunya duduk.
  "Rupanya teman si pelayan ini tersinggung ya, kasihan," ledek Marys.
  "Lihat saja nanti. Kalian akan tau rasa!" ancamnya, Santi.
  "I, takut?"
  "Sudalah San, orang2 seperti mereka ini tak pantas kita dengarkan," Anisa pun berdiri dan mengandeng Santi pergi.
 
  Di lorong kelas.
  "Mereka semua suda keteraluan. Nis! Kenapa tak kau umumkan saja siapa dirimu, biar mereka semua tau rasa..."
  "Iya juga si! Tapi, biarlah mereka tau sendiri nantinya. Aku ingin tau aja, bagai mana tingkah mereka saat itu," Anisa meringgis, menghayalkan.
 

Continued...

0 komentar:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More