Minggu, 17 Januari 2010

jangan salahkan aku



Namanya Karop propokat. Hobby yang di lakukannya akir akir ini. Buat banyak orang menderita bakan hanya tinggal nama. Dia itu senang buat keributan massal.
Keributan yang di perbuatnya, bukan keributan biasa !.
Dari kaca mata orang lain seolah olah bukan dia pelakunya.

Hebat.... !

Dia itu sang aktor propokator. si pembuat masalah di kampung kampung dan di setiap ada kerusuhan. Bakan keributan kecil pun bisa di perbesar olehnya.

Dia memang bermuka 2.

Di mata masarakat. Dia itu rajin, santun dan patut di contoh. Suka menolong, perhatian, berjiwa sosial, baik pada orang orang dan berani berjuang di garis depan.

Dia itu serigala berbulu domba. Yang siap memangsa domba yang jadi temannya. Mau pun yang bukan temannya.

Di balik semua kebaikannya itu. Setiap kali ada kerusuhan di kampung. Dia itu, siap di depan dalam keadaan panas berkecamuk. Dia itu si pembuat suasana panas dan pemanas suasana.

Ini hari terjadi kerusuan antar kampung sebelah dan kampung sebelahnya terjadi. Dan seperti yang biasa biasanya, ia ikutan dan berada di depan. Suasana menjadi panas dan tambah memanas oleh kata katanya yang tajam tak terbendung.


Pertempuran segera terjadi oleh propokatornya. Keributan membesar dia pun senang. Dia lalu menyingkir dan jadi penonton di pinggir. Dia senang nyaksikan pertunjukan pertumpahan dara di depannya.

Di pingir.
Sebuah balok kayu terbang melayang menghampirinya dari atas. Tak ayal dia tertimpuk balok itu. kepalanya bocor dan dia. Tewas !. Yang terakir itu adalah prediksi orang yang memeriksanya.

Cahaya berkelip kelip di atas tanah di antara suasana gelap pekat. Dia berjalan sendiri tak ada yang menemani di antara gelap gelap dan cahaya. Semakin lama cahaya berkelip di atas tanah, semakin pudar dan berganti semakin pekat.

Sebuah pintu bercahaya, dengan sendirinya terbuka. Dia masuk tampa ragu. Di dalamnya suasana putih pekat tak bertitik. Sebuah cahaya kembali tampak. Dia bangun dari komanya dan keadaan terasa berbeda.
Beribu ribu mayat menumpuk dan mengunung sepanjang mata dia memandang. Di atas nampan bertatakan berlian. Dia berdiri menyaksikan semuanya ini. Tak ada rasa mual, ngilu oleh bauh mayat.

Lalat bertaburan, kian semarak. Dia turun dari bukit puncak mayat mayat, ia seperti kehilangan rasa akan hal hal bangkai dan bau baunya. Dia lupa akan semua itu dan kenapa dia sampai di sini.

Di tengah jalan, satu jasad menghadangnya. Dia berhenti, diam dan memandang pada jasad itu. Dia seperti mengenalnya ?. Sebuah balok kayu kembali melayang dan menghantamnya keras. Dia diam tak merasa. Dia seperti jasat tak merasakan apa apa, tapi dia melihat semuanya ini terjadi.
Sebuah balok kayu yang lebih besar melayang dari atas dan menghantam kepalanya lagi. Dan lebih keras.

Sontak dengan replek seperti nyawa tercabut malaikat maut. Dia terbangun. Suasana putih dengan bermacam macam peralatan medis terpampang di sekitarnya. Kepalanya berat, ia bisa merasakannya betapa sakitnya.
Berbondong bondong ingatan masuk dan menari nari di kepalanya. Ingatan yang terakir juga ikut tampil.

Dia terbangun. Dia seorang diri di Icu. Dia mencoba teriak memanggil. Batinnya sakit, tapi suaranya tak bisa keluar dan terdengar di luar Icu. Dia mencoba bangun, tapi tubuh lemahnya memaksanya tetap di atas ranjang. Dia merana. Dia menangis ingin ada orang di sekitarnya, Percuma.
Sepi sendiri dia di kamar Icu ini. Dia menunggu mati.

17 hari dia terdiam di ruang putih. Tak ada yang datang dia hanya bisa memandang orang berlalu lalang di luar dari balik jendela.
Di hari ke 17 ini, seorang gadis kecil datang memasuki ruang Icu. Gadis kecil itu sungguh cantik, gadis kecil itu  lalu memegang tangannya. Tubuhnya bergerak. senang dia gembira. Gadis kecil itu membawanya keluar dari ruang Icu dan rumah sakit. Dengan tangan tergandeng gadis kecil itu, dia berjalan tertati tati.

Di depan di jalan dekat rumah sakit keributan massa terjadi. Dia melihat, hatinya bergelora, dia ingin ikut memanaskan suasana. Sayang yang tergerak cuma pikirannya. Tubuhnya nggak bisa di gerakkan. Cengkraman tangan gadis kecil itu terlampau kuat untuknya. Gelora batin dan otaknya masih terus berkecamuk. Ingin rasanya menyaksikan pertunjukan hebat berbalut dara. Dan nyawa.

Keinginannya tak terpenui. Tangan kecil gadis itu masih memegangnya sampai di tengah jalan menjau dari kerusuan. Dia sangat menderita.
Kepalanya ingin menole ke belakang.
Rasa sakit terasa sangat sakit, setiap kali dia mencoba berpaling. Di hatinya dia menangis sakit, tak bisa memenui apa inginnya.

Lagi sebuah balok kayu melayang dan menghajar kepalanya lagi. Dia tersungkur. Sekali lagi dia sekarat. Menunggu mati.
Gelap gulita telinganya mendengar banyak suara.
Dari mulutnya dia bersuara.
"Aku hanya ini menyalurkan apa inginku. Apa ini salah ? ".
Suasana mencekam berbalut gairah neraka dunia. Dia meninggal dan suda di pastikan.

Ini bukan cuma hobby, tapi di persalakan. Da !

0 komentar:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More